rel="colorSchemeMapping">

Thursday, December 2, 2010

Asal-Usul NATAL

Kelirumologi Natal


Kategori: Natal, Renungan

Oleh: Pdt. Ayub Yahya
Tidak salah bahwa di dunia ini ada banyak sekali kekeliruan, seperti disinyalir oleh Jaya Suprana, pencetus "kelirumologi" itu. Tetapi karena hal itu sudah terlanjur biasa diucapkan dan didengar atau terlanjur sering dipakai sehingga itu tidak lagi dirasakan sebagai kekeliruan. Misalnya, anggapan bahwa Yunus ditelan ikan paus. Keliru. Selain paus bukan sejenis ikan, tetapi mamalia, dalam cerita Yunus di Alkitab juga tidak pernah disebutkan ikan paus; hanya disebutkan ikan besar (Yunus 1:17). Atau dalam pemakaian kata-kata. Misalnya kata acuh, kerap orang menyamakan dengan tidak peduli, cuek. Padahal acuh, artinya justru peduli alias tidak cuek.
Dalam kisah seputar Natal juga ada kekeliruan. Misalnya, dalam cerita tentang orang majus dari Timur yang selama ini selalu digambarkan berjumlah tiga orang, padahal Alkitab hanya menyebutkan "orang-orang majus" (Matius 2:1-12). Alkitab tidak menyebutkan jumlahnya secara pasti. Memang dalam kisah orang majus itu disebutkan tiga jenis hadiah yang mereka bawa: mas, kemenyan, dan mur. Tetapi tiga jenis hadiah tidak serta merta dibawa oleh tiga orang juga, bukan?
Simak pula cerita tentang Yusuf dan Maria yang tengah mencari penginapan. Dalam drama Natal biasanya digambarkan begini: Yusuf berjalan menuntun keledai, sementara Maria yang tengah hamil tua duduk di atasnya. Mereka berjalan dari satu penginapan ke penginapan lain, dan selalu dijawab, "Maaf, tidak ada kamar kosong". Jawaban tersebut keliru sebab yang dikatakan Alkitab bukan tidak ada kamar kosong, tapi tidak ada tempat bagi mereka (Lukas 2:1-7). Kemungkinan kamar kosong masih ada, tapi untuk Yusuf dan Maria tidak ada tempat.
Hal ini bisa dimengerti mengingat situasi dan kondisi waktu itu. Kota Bethlehem tengah dipadati orang-orang dari luar kota yang mau ikut sensus penduduk. Penginapan tentunya menjadi sangat mahal. Sedang Yusuf dan Maria hanyalah orang-orang sederhana. Pula, Maria sedang hamil tua. Kalau sampai melahirkan di penginapan, pasti akan merepotkan sekali. Belum lagi suara tangis bayi yang bisa mengganggu tamu-tamu lain. Untuk kepentingan bisnis, menerima mereka bisa merugikan pemilik penginapan. Karena itu bagi mereka, maaf saja, tidak ada tempat. Begitu juga anggapan bahwa tanggal 25 Desember adalah hari kelahiran Tuhan Yesus. Bulan Desember di Palestina adalah musim dingin, padahal di Alkitab ketika Tuhan Yesus lahir diceritakan adanya gembala-gembala yang sedang menggembalakan dombanya di padang (Lukas 2:820), jadi bisa dipastikan saat itu bukan musim dingin.
Sebetulnya memang tidak ada tanggal yang pasti kapan Tuhan Yesus lahir. Pada zaman itu merayakan hari kelahiran dianggap sebagai tradisi kafir. Orang-orang Kristen pun tidak terbiasa melakukannya. Satu-satunya perayaan hari kelahiran yang dicatat dalam Perjanjian Baru adalah ulang tahun Herodes Antipas (Matius 14:6). Gereja perdana hanya merayakan hari kebangkitan Tuhan Yesus.
Tanggal 25 Desember semula merupakan perayaan non-kristiani yang berarti menyambut kembalinya matahari ke belahan bumi bagian utara. Sekitar akhir abad ke-4 orang-orang Kristen di kota Roma mengambil alih tanggal itu dan menjadikannya sebagai peringatan kelahiran Tuhan Yesus. Hari Natal. Sampai sekarang.
Itulah beberapa kekeliruan seputar Natal. Tetapi dari semua kekeliruan itu, ada satu kekeliruan yang paling fatal. Yaitu, ketika Natal diidentikan dengan kemeriahan, pesta yang penuh hura-hura atau pertunjukkan rupa-rupa acara. Entah di rumah, di gereja, di kantor, atau di mana saja. Seakan Natal tanpa itu semua belum disebut Natal. Sehinggga orang pun lantas lebih sibuk dengan acara, bukan makna; lebih peduli pada bentuk, bukan isi; lebih memikirkan konsepsi, bukan substansi.