Salahkah Memaksa Anak Untuk Berprestasi?
Banyak orangtua membangkitkan kemarahan anak-anak mereka dengan terus-menerus mendesak mereka untuk berprestasi. Paksa anak Anda untuk meraih impian yang tidak pernah Anda raih, maka Anda akan menghancurkan anak Anda.
Tentu saja merupakan tanggung jawab setiap orangtua untuk memberi semangat dan mendorong anak mereka agar mencapai prestasi yang lebih tinggi. Dalam 1 Tesalonika 2:11 Rasul Paulus mengingatkan jemaat Tesalonika mengenai sikap kebapaannya terhadap mereka: “Kamu tahu, betapa kami, seperti bapak terhadap anak-anaknya, telah menasehati kamu dan menguatkan hatimu seorang demi seorang”.
Nasehat dan sikap kebapaan tentu memiliki tempat di hati anak-anak, tapi perhatikan bahwa hal itu harus diikuti dengan dukungan yang penuh kasih. Orangtua yang hanya mendesak anak-anak mereka untuk meraih prestasi lebih banyak tanpa mendukung mereka di tengah kegagalan mereka sama halnya dengan menggiring anak mereka untuk menyimpan kemarahan. Desaklah anak Anda untuk meraih sasaran yang tidak wajar atau tidak dapat diwujudkan dan Anda akan merenggut semua kesadaran untuk pencapaian dari anak Anda.
Ketika putra-putra saya masih kecil dan terlibat dalam tim olahraga, tampaknya setiap tim yang pernah diikutinya memiliki paling sedikit satu orang ayah yang telah menakut-nakuti putranya jika gagal, sehingga sang anak hidup dalam ketakutan untuk gagal. Akibatnya, ia justru tidak bermain dengan segenap kemampuannya.
Saya mengenal banyak orangtua yang tak henti-hentinya menekan anak mereka tanpa belas kasihan untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi. Sebagian besar orangtua itu dimotivasi oleh egoisme belaka. Mereka semata-mata berupaya memenuhi impian masa kecil mereka yang tidak terwujud melalui anak mereka. Ini adalah beban yang tidak adil yang diletakkan pada pundak anak.
Seorang remaja putri cantik yang saya kenal sunguh-sungguh menjadi gila oleh karena tekanan orangtuanya. Saya mengunjungi dia di sebuah kamar yang diberi lapisan-lapisan empuk dimana ia berbaring kaku, tidak bergerak kecuali karena tubuhnya yang bergetar terus-menerus. Sebelumnya, dia adalah seorang murid dengan peringkat tertinggi, seorang pemandu sorak, dan ratu dalam acara reuni alumni. Tetapi semua ini tidak pernah memuaskan orangtuanya.
Ibunya, secara khusus, terus-menerus menekan dia untuk meraih prestasi yang lebih baik lagi, berpenampilan lebih baik, dan berbeda dalam tindakan. Segala sesuatu yang dia perbuat merupakan kesempatan bagi ibunya untuk mengatakan kepadanya bagaimana dia dapat melakukan lebih baik lagi. Dan di bawah tekanan yang begitu banyak, akhirnya dia luluh lantak.
Setelah beristirahat beberapa minggu dan menjalani pengobatan, dia sembuh pada titik dimana ia tidak lagi membutuhkan perawatan. Akhirnya, dia dipulangkan – tepat ke dalam lingkungan dengan suasana panas dan menekan yang diciptakan ibunya bagi dirinya. Tidak berapa lama kemudian, remaja ini kemudian bunuh diri.
Mengapa? Ucapannya kepada saya beberapa saat sebelum kematiannya: “Tidak peduli apa pun yang saya lakukan, hal itu tidak akan pernah memuaskan ibu saya.” Percayalah, wanita muda ini telah mencapai prestasi yang jauh melampaui potensi sang ibu, tetapi sang ibu berupaya menghidupkan khayalannya sendiri melalui putrinya. Sungguh mengerikan! Dia menggiring putrinya untuk marah dan menghancurkan dirinya sendiri.