rel="colorSchemeMapping">

Monday, January 31, 2011

Sejarah Imlek

Sebenarnya ada apa di balik perayaan Imlek?? Bagaimana perayaan tersebut dimulai?? Dan apa sebenarnya makna dari perayaan Imlek?? Tulisan ini mencoba untuk membedah perayaan Imlek dari tiga dimensi, yaitu tradisi, sejarah dan pemaknaannya.

Tradisi
Perayaan Imlek dan orang Tionghoa adalah dua hal yang sangat erat kaitannya. Perayaan Imlek sudah menjadi tradisi mendarah daging bagi orang Tionghoa sekalipun mereka tersebar di seantero dunia jauh dari tanah leluhurnya di Cina daratan sana.

Perayaan Imlek atau Sin Tjia sebenarnya adalah sebuah perayaan yang dilakukan oleh para petani di Cina yang biasanya jatuh pada tanggal satu di bulan pertama di awal tahun baru. Perayaan ini juga berkaitan dengan pesta para petani untuk menyambut musim semi. Perayaan ini dimulai pada tanggal 30 bulan ke-12 dan berakhir pada tanggal 15 bulan pertama. Acaranya meliputi sembahyang Imlek, sembahyang kepada Sang Pencipta, dan perayaan Cap Go Meh. Tujuan dari persembahyangan ini adalah sebagai wujud syukur dan doa harapan agar di tahun depan mendapat rezeki lebih banyak, untuk menjamu leluhur, dan sebagai sarana silaturahmi dengan kerabat dan tetangga.

Ada beberapa tradisi yang sudah turun-temurun dilakukan oleh kalangan etnis Tionghoa dalam merayakan Imlek. Di antaranya, hidangan Imlek, pakaian baru dan rapi, membakar petasan, saling mengunjungi dan memberi hormat serta tidak ketinggalan mengenai angpao.

Makanan yang khas pada tahun baru Imlek adalah kue keranjang atau disebut juga kue cina, dan ikan bandeng. Biasanya, kue keranjang itu dikirimkan kepada kerabat, sahabat dan relasi. Sementara, ikan bandeng digunakan untuk persembahan sembahyang.
Tepat pada hari raya Imlek, biasanya semua orang berpakaian baru dan rapi. Hal ini layaknya hari-hari besar lain tentunya. Anak-anak dan orang-orang yang lebih muda memberi hormat kepada orang-orang tua dengan cara pai-pai atau soja (mengepalkan kedua tangan sambil digoyang-goyang ke depan dan belakang). Setelah itu orang-orang tua memberikan angpao tadi. Angpao adalah amplop berwarna merah berisi uang.

Tradisi lainnya adalah, tepat pada hari raya Imlek orang membakar petasan atau kembang api. Ini merupakan simbol kegembiraan karena rezekinya ”meledak”. Ada pula yang memanggil barongsai tanda mengundang rezeki dan menolak bala. Dan mengenai tradisi saling mengunjungi menyambut Imlek ini berlangsung selama 15 hari dan berakhir pada saat perayaan cap go meh (hari ke-15 setelah Tahun Baru Imlek).

Sejarah
Perayaan Imlek/Yin Li/ Anno Confuciani/Teth (Vietnam) menurut sejarah secara umum dan kenegaraan, dimulai pada zaman dinasti Han sekitar 206 SM-220 M, di mana kaisar pertamanya yang bernama Han Wu Di (keturunan dari Liu Bang yaitu orang yang berhasil menumbangkan dinasti Qin yang tirani 221 SM-207 SM).

Han Wu Di merupakan seorang Konfusianis sejati, yang terlalu sejatinya dia sampai-sampai memakai konsep Konfusianisme dalam menjalankan segenap pemerintahannya, dan ternyata jalan yang diambilnya tidaklah salah sebab dinasti Han-lah yang paling sukses dan berhasil dalam sejarah dinasti mana pun di Cina. Dinasti Han juga merupakan dinasti terlama dalam peradaban bangsa Cina, bahkan sampai sekarang pun hampir semua orang Cina merasa sangat bangga jika disebut sebagai orang Han.

Perayaan Imlek sebenarnya sudah ada sejak zaman dinasti Xia (2100-1600 SM), dinasti ini didirikan oleh Yu The Great, yang merupakan penyelamat banjir ketika Cina dilanda air bah.

Penanggalan Imlek yang dihitung berdasarkan perhitungan lunar/bulan ditetapkan oleh Han Wu Di berdasarkan tahun kelahiran Konfusius/Khonghucu, yang jatuh pada tahun 551 SM, sehingga terkadang oleh para sarjana barat Imlek dikenal dengan istilah Anno Confuciani karena berdasarkan perhitungan tahun kelahirannya Confucius (Sima Qian, The Great History/Shi Ji).

Dan kebetulan juga karena begitu tepatnya perhitungan lunar bagi kepentingan pertanian dan astronomi Hong Shui, Feng Shui, dan keperluan lainnya perhitungan ini tidak mengalami perubahan yang signifikan sampai dinasti Qing (1644-1911) yang merupakan dinasti terakhir di Cina.

Dari sudut etimologi, perayaan Tahun Baru Musim Semi ini disebut juga Imlek (dialek Fujian) atau Yin Li (dialek Mandarin), yaitu Im = Bulan, Lek = penanggalan, sehingga Imlek berarti penanggalan yang dihitung berdasarkan peredaran bulan jadi berbeda perhitungan dengan penanggalan Yanglek/Masehi yang dihitung berdasarkan peredaran Matahari, Yang = Matahari.

Makna
Perayaan Imlek yang dirayakan oleh berbagai bangsa (China, Jepang, Korea, Vietnam, dan lainnya) selama berabad-abad menyediakan makna spiritual yang amat kaya, bahkan mampu berperan dalam menyatukan mereka dalam semangat hidup yang sama.

Mengingat Imlek bukan perayaan keagamaan, maka “makna spiritual” perayaan Imlek tidak pertama-tama digali dalam ajaran agama tertentu. Semula, Imlek merupakan perayaan petani. Makna spiritual Imlek perlu digali dari pengalaman kehidupan dan dunia makna yang berkembang di antara kaum petani. Dalam perjalanan waktu, Imlek juga dirayakan oleh masyarakat yang bukan dari golongan petani. Karena itu, tidaklah mencukupi pemaknaan spiritual Imlek hanya dibatasi dari dunia pertanian.
Beberapa makna spiritual yang pantas dikedepankan, antara lain:

Pertama, kasih sebagai faktor pemersatu kehidupan. Imlek memperlihatkan pengalaman perjumpaan para petani dengan realitas kehidupan yang ada di sekitarnya. Bagi petani, realitas di dunia ini disatukan, disemangati, ditumbuhkan oleh kasih. Karena itu, mereka menemukan dan menggunakan berbagai macam barang, tanaman, atau binatang yang ada di lingkungan mereka untuk menunjukkan pengalaman kasih yang menghidupkan itu. Mereka mengungkapkan harapan kehidupan yang lebih berkualitas dengan menggunakan obyek-obyek itu. Misalnya, ikan dipandang sebagai lambang kelimpahan berkat kasih yang menghidupkan. Dengan memasang gambar ikan atau memakan ikan, mereka mengharap datangnya kelimpahan itu.

Kedua, Imlek merupakan perayaan pengalaman kasih yang membahagiakan dan terbagikan kepada sesama. Bagi petani, kasih yang membahagiakan itu mereka terima dari kemurahan alam. Karena itu, mereka pun harus belajar bermurah hati kepada sesama. Kasih yang membahagiakan itu layak untuk dinikmati dalam kebersamaan dengan yang lain, dalam semangat solider kepada sesama, terutama yang lemah, miskin, dan papa.

Warna dasar perayaan Imlek adalah merah, yang berarti kebahagiaan dan semangat hidup. Sebagaimana darah dalam nadi, pengalaman hidup yang penuh semangat dan membahagiakan itu harus mengalir dan meresapi berbagai bagian tubuh untuk kehidupan yang lebih baik. Dalam perayaan Imlek, dibagikan kepada anak-anak, orang-orang miskin, sederhana, dan papa, hal-hal yang dapat membahagiakan mereka: uang, makanan, hadiah, atau berbagai bentuk bantuan lain. Dengan berbagi kebahagiaan, kasih yang berlimpah itu diharapkan dapat semakin merasuki berbagai sektor kehidupan mereka dan akhirnya akan memberikan kebahagiaan lebih besar lagi.

Ketiga, pengalaman kasih dimulai di keluarga. Inti kasih itu tidak terletak dalam banyaknya kata-kata, tetapi dalam tindakan untuk saling memberikan diri kepada subyek yang dikasihi. Kemampuan mengasihi seperti ini disadari oleh para petani dan nonpetani, berawal di dalam keluarga. Pusat perayaan Imlek terletak pada kesediaan seluruh anggota keluarga untuk berkumpul bersama, meninggalkan kepentingan diri, dan berbagi pengalaman kasih dalam keluarga. Puncak perayaan itu diungkapkan dengan kesediaan makan bersama, saling menghormati, bercerita pengalaman hidup yang membahagiakan, mengampuni, berbagi rezeki, menyampaikan salam berupa doa atau harapan untuk hidup lebih baik, dan sebagainya.

Keempat, Imlek adalah perayaan kebebasan yang inklusif. Kesederhanaan alam pikiran petani tidak banyak memberi tempat pada rumitnya aturan yang harus ditaati. Pada dasarnya Imlek tidak memiliki aturan baku. Seandainya ada, peraturan itu amat umum, tidak menyertakan hukuman bagi pelanggarnya. Dengan demikian, dunia tidak mengenal adanya model tunggal perayaan Imlek. Setiap pribadi, keluarga, atau kelompok masyarakat apa pun, diizinkan merayakan Imlek dengan segala kemampuan, keterbatasan, latar belakang, simbol, dan sistem pemaknaan masing-masing. Kebebasan seperti ini menjadikan Imlek perayaan yang inklusif karena tidak mengeliminasi siapa pun untuk tidak diizinkan merayakannya.

Disadur dari berbagai sumber